Legenda Malin Kundang: Kedurhakaan Ibu atau Anak?
Disini saya tidak akan menceritakan Legenda Malin Kundang yang durhaka. Anda bisa temukan legenda ini di website lain. Saya hanya ingin menyampaikan beberapa pendapat saya mengenai legenda ini.
Table of Contents
Legenda Malin Kundang yang berasal dari cerita rakyat Minangkabau di Sumatera Barat, merupakan salah satu legenda yang cukup terkenal di daerah Asia Tenggara. Sebagai orang Minang, saya sangat sering mendengar cerita ini. Ditambah dengan budaya merantau dari Minang, membuat cerita ini menjadi cerita yang selalu mengeringi saya dalam perantauan.


Durhaka di Legenda Malin Kundang
Disini saya tidak akan menceritakan Legenda Malin Kundang yang durhaka. Anda bisa menonton legenda ini disini. Saya hanya ingin menyampaikan beberapa pendapat saya mengenai legenda ini. Legenda ini sering diceritakan dikeluarga saya. Terkadang di kalangan masyarakat Minang, legenda ini dijadikan patokan, kalau anak tidak berperilaku seperti yang orang tuanya inginkan, alias anak durhaka.
Saya sering sekali mempertanyakan hubungan Malin Kundang dan Ibu-nya yang menurut saya tidak sehat. Karena sering kali, saya mendengar dari lingkungan Minang saya, kalau kita tidak boleh durhaka layaknya Malin Kundang. Bisa dibilang anak menjadi kambing hitam di legenda ini. Ini tidak adil, karena anak bisa disalahkan, tapi ibu tidak boleh disalahkan. Jadi disini ada ketidak seimbangan kekuatan. Ibu yang mempunyai kekuatan lebih besar terhadap anak, tidak seharunya menindas anak. Karena orang yang kuat adalah orang yang menolong yang lemah dan bukan menekan yang lemah.
Kalau ada anak durhaka, tentu juga ada Ibu durhaka, bukan?
Gugatan terhadap Siti Rubayah (Ibu Malin Kundang)
Ketika Malin Kundang yang sukses di rantau pulang ke kampung halamannya, dia tidak mengenali Ibunya yang sudah tua dan miskin. Tentu hal ini sangat menyakitkan bagi seorang Ibu pada zamannya, dimana Internet (Video Call, WhatsApp, Facebook dan Instagram) tidak ada. Hal ini tentu menjadi hal yang sangat perih, karena ditambah dengan kerinduan yang mendalam terhadap anaknya. Bertahun-bertahun sang Ibu tidak mengetahui sedikitpun tentang anaknya yang merantau dengan kapal besar.
Ekspektasi Tinggi dari Orang Tua
Menurut saya seharusnya, Siti Rubayah tidak berekspektasi tinggi kalau anaknya pulang ke kampung halaman. Atau bisa dikantakan meromantisasikan kepulangan anaknya. Anaknya saja sudah mandiri dan masih hidup, menurut saya adalah karunia yang sangat besar. Banyak anak-anak yang sampai di usia tua tidak bisa mandiri dan masih bergantung kepada kedua orang tuanya. Jika anaknya harus sukses diperantauan, punya banyak teman, baik budi, baik jiwanya dan badannya sehat, itu merupakan ekspektasi yang tinggi atau bisa dikatakan ingin anaknya sempurna dengan bekal yang bisa dibilang tidak banyak dari Siti Rubayah. Kalau si Malin hidup dirantau dan terlindungi dari kesendirian atau depresi dan masih hidup, tanpa harus sukses, itu saja sudah merupakan karunia yang besar.
Kurangnya Keterampilan Berkomunikasi
Jika terjadi kesalah pahaman, seperti halnya di legenda ini, seharusnya Siti Rubayah berusaha berkomunikasi dengan anaknya. Kalau tidak bisa komunikasinya sehat secara pribadi, maka dia juga bisa meminta tolong dengan ketua adat setempat, agar bisa diadakan pertemuan. Jadi ada yang menengahi, atau bisa juga dibilang ada saksi. Saksi juga harus bisa berjanji untuk menjaga rahasia, tentang apa yang diperbincangkan Siti Rubayah dan Malin Kundang.
Memanjakan Anak = Merusak Anak dan Diri Sendiri?
Di dalam legenda diceritakan bahwa Malin Kundang sangat disayang oleh Ibunya. Sang Ibu saking sayang selalu menggendong Malin selagi bekerja (dikundang = digendong). Hal ini memberikan dinamika yang kurang sehat antara Siti Rubayah dan anaknya, karena kebahagiaan sang Ibu akhirnya hanya bergantung terhadap anaknya.
Merusak Anak: Karena Siti Rubayah terlalu bergantung terhadap Malin Kundang, bisa dipahami kalau Malin merasa terikat, karena dia merasa wajib untuk membahagiakan ibunya yang rela berkorban, sampai dia tidak memperhatikan kebahagiaanya sendiri. Dengan begini, Siti Rubayah, secara tidak langsung, tidak mengajarkan anaknya untuk mengambil keputusan sendiri dan menanggung konsekuensi, atas apa yang dia pilih. Keputusan Malin Kundang untuk pergi merantau pun sudah bisa diprediksi dengan dinamika hubungan seperti ini. Hal ini berlaku tidak hanya antara hubungan Ibu dan Anak, tapi juga pasangan atau pertemanan.
Merusak Diri Sendiri: Sang Ibu pun dalam hal ini juga merugi. Karena kebahagiaanya yang sangat bergantung terhadap kebahagiaan anaknya, ia tidak lagi merawat dirinya dan mencintai dirinya. Seolah-olah sang Ibu menjadi depresi setelah anaknya merantau. Kedepresiannya ini berasal dari keinginannya secara tidak disadari untuk mengontrol keberadaan anaknya, sedekat mungkin dari dia, tanpa mempertimbangkan kebahagiaan (keinginan) anaknya. Seharusnya dia bahagia jika anaknya bahagia, tanpa anaknya harus selalu berperilaku seperti yang dia harapkan. Dia menyakiti dirinya sendiri dan anaknya sekaligus dengan ketergantungannya. Di dalam hidup kita tidak bisa mengontrol orang lain, karena setiap orang mempunyai hak untuk memilih keputusannya. Yang bisa kita kontrol hanyalah emosi, pemikiran dan bagaimana kita merawat badan (rumah) kita.
Balas Dendam Lewat Doa
Saya sampai sekarang masih sangat sedih akan keputusan Siti Rubayah untuk membalas dendam terhadap perilaku anaknya Malin Kundang melalui doa. Membalas dendam tidak memperbaiki keadaan atau bahkan memberi pelajaran, terhadap seseorang yang bersalah.
Ketika kita membalas dendam, maka orang yang didendami ingin membalas dendam balik ke kita. Dan hal ini tidak akan berhenti, sampai salah satu dari mereka memaafkan atau mati. Tentu memaafkan adalah pilihan yang lebih dewasa, sedangkan balas dendam bisa dikatakan pemikiran yang cukup kekanak-kanakan.
Selain itu jika kita mencintai seseorang, sekaligus ingin membalas dendam terhadap mereka, maka itu bukanlah cinta yang nyata, melainkan keinginan untuk mengontrol. Karena kalau kita mencintai seseorang, maka kita tidak ingin menyakiti atau merusak kebahagiaan orang yang kita cintai. Kita ingin orang tersebut belajar dan berubah, serta bisa hidup bahagia, walau tanpa kita atau paling optimal dengan kita disampingnya.
Kata doa terlalu dilihat sangat suci (positiv)dan baik di Indonesia. Apakah itu doa yang suci dan baik, kalau kita berdoa, agar hidup seseorang yang kita sedang benci atau murkai jadi susah dan buruk? Bukankah seharusnya kita mendoakan orang tersebut untuk bisa belajar tentang perilakunya dan pengaruh dari perilakunya terhadap orang lain? Bukan hukuman atau ancaman untuk orang tersebut masuk neraka atau dikutuk jadi batu. Dengan begitu mungkin ceritanya bisa mempunyai akhir yang bahagia, karena Siti Rubayah dan Malin Kundang berhasil memperbaiki hubungan Ibu-Anak yang sudah sebelumnya rusak.
Pembelaan terhadap Malin Kundang
Saya disini ingin membela Malin Kundang. Karena saya merasa betapa pentingnya kita untuk memiliki pandangan yang berbeda, sampai sekarang saya belum pernah melihat sebuah artikel yang membela Malin. Sebagai anak Minang di rantau, saya kadang bisa mengerti kesulitan Malin sendiri, apalagi jika dikeluarga kurang keterampilan berkomunikasi dan berempati.
Apakah Malin Kundang Benar-Benar Durhaka?
Bisa jadi Malin Kundang pada saat itu harus berdiplomasi dan tidak bisa menunjukkan orang-orang terdekatnya atau kehidupan pribadinya dalam perjalanan, karena takut akan membahayakan bisnisnya. Seperti yang kita ketahui, bahwa orang-orang yang mempunyai uang yang banyak atau terkenal, seringkali dicari kehidupan sosialnya. Banyak yang ingin mengambil keuntungan dan memanfaatkan melalui orang-orang terdekat. Ini merupakan batasan-batasan emosional (Boundaries) yang harus dihargai dan dipahami untuk mempunyai hubungan yang sehat.
Seandainya Malin Kundang juga sangat sayang kepada Ibunya: Apakah keadaan Ibunya yang buruk akan membuatnya senang? Bisa jadi dia pada saat itu terkejut akan keadaan Ibunya dan sedih. Kemudian dia secara automatis menyalahkan dirinya sendiri dan merasa malu terhadap dirinya sendiri. Saking sakitnya perasaan Si Malin, dia akhirnya melampiaskan hal ini kepada Ibunya. Jadi marahnya sebenarnya bukan ditujukan kepada Ibunya, melainkan kepada dirinya sendiri. Namun karena mengakui kesedihan dan rasa malu terhadap diri sendiri pada saat itu, jauh lebih menyakitkan bagi Malin. Sehingga dia memperlakukan Ibunya dengan cara yang tidak sopan atau berkenan. Hal ini dinamakan Projeksi dalam ilmu psikologi. Dalam hal ini menurut saya kata durhaka bukanlah kata yang tepat, melainkan Malin Kundang adalah anak yang menyangkal perasaanya.
Hal janggal lainnya adalah, karena di dalam legenda ini ceritanya hanya melalui sudut pandang Ibu Malin Kundang, tapi tidak ada cerita melalui sudut pandang Malin Kundang sendiri. Ini tidak adil untuk Malin, karena semua yang kita baca adalah dari sudut pandang Ibunya Malin. Dengan kurangnya informasi dari pihak bersangkutan, kita tidak bisa memutuskan bahwa Malin anak "durhaka". Selain itu, bukankah bagaimana cara Siti Rubayah berbalas dendam kepada Malin Kundang melalui doa, membuat dia juga menjadi Ibu yang durhaka terhadap anaknya?
Apakah Menyalahkan dan Kata "Durhaka" Ada Manfaatnya?
Dalam bahasa Jerman ada istilah Schadenfreude: Senang melihat orang susah. Mungkin inilah perasaan yang kita punya, pada saat mendengar atau membaca legenda ini. Kenapa kita bahagia melihat orang susah? Bukankah seharusnya kita bahagia melihat orang juga bahagia. Karena kalau semakin banyak orang bahagia di atas dunia ini, dunia ini akan jadi lebih baik. Dengan begitu Schadenfreude bukannya bermanfaat, tapi malah merugikan, karena kalau semakin banyak orang disekitar kita yang tidak bahagia, maka hanya menunggu waktu untuk kesedihan dan kesusahan sampai kepada kita. Begitu pula sebaliknya.
Durhaka dan Dikutuk jadi Batu: dalam hal ini menurut KBBI artinya adalah ingkar terhadap perintah Tuhan. Malin Kundang sudah memohon maaf atas apa yang dia lakukan terhadap Ibunya kepada Tuhan. Apakah itu Tuhan yang baik, kalau hamba-Nya meminta maaf dan ingin berubah, dia tidak mau memberi kesempatan, tapi malah dikutuk jadi batu? Bagi saya itu bukan Tuhan Yang Maha Penyayang lagi Pengampun.
Lalu Siapa yang Salah? Bisa dibilang tidak ada yang salah. Melainkan kurangnya keterampilan berkomunikasi, kurangnya berempati, kurangnya cinta dan kejujuran terhadap diri sendiri, membuat dua manusia yang saling menyangi tidak bisa memiliki hubungan yang baik. Hal ini sangat tragis, karena kekurangan keterempalin berkomunikasi dan berempati jika terjadi zaman sekarang, dapat diasah dengan mengikuti psikoterapi dan ditambah dengan membaca buku psikologis serta latihan bersama teman, pasangan, kawan kerja, dll.
Akhir Lain untuk Legenda Malin Kundang
Kalau saya bisa menuliskan Legenda ini ulang, maka ceritanya akan menjadi:
Siti Rubiyah mendoakan anaknya supaya sadar. Dalam absen anaknya, Siti Rubiyah belajar akan pentingnya kemampuan untuk mencintai dirinya tanpa ketergantungan terhadap anaknya. Ia akhirnya punya kontak sosial dan tidak mengurung diri karena depresi ditinggal anankya. Melainkan dia berusaha mencari kebahagian dengan cara mungkin melakukan hobi atau keterampilan. Dengan begitu dia bisa menyimpan uang untuk hari tuanya. Kalau depresinya rasanya datang mendadak, dia bisa keluar dan berbincang-bincang dengan tetangganya tentang hal-hal positif dan indah dalam hidup ini: dia bisa hidup sampai tua, menikmati matahari yang bersinar di pantai, sambil makan ikan goreng, dan minum air kelapa muda. Siti Rubiyah memaafkan dirinya sendiri karena tidak mempelajari hal ini terlebih dahulu.
Kemudian Malin Kundang yang juga punya anak bisa memahami, betapa pedih hati Ibunya pada saat dia pulang dan tak mengakui Ibunya. Sehingga dia meminta maaf kepada Ibunya dan mendapatkan pelajaran yang sangat mahal dan berharga. Mereka saling memaafkan dan yang paling penting adalah mereka saling memaafkan diri mereka sendiri. Dengan begitu mereka pun memiliki hubungan yang erat dan lebih baik dengan diri mereka sendiri dan automatis dengan orang-orang yang mereka sayangi. Ini menunjukkan kedewasaan secara emosional yang tinggi.
Orang yang tidak mencintai dan memaafkan diri sendiri, tidak bisa mencintai dan memaafkan orang lain.
Ini juga berdasarkan Filosofi Jepang: Kintsugi. Dimana orang Jepang memperbaiki mangkuk, piring atau gelas yang pecah pecah dengan emas. Contoh foto di bawah ini. Jadi karena mangkuk ini telah diperbaiki dengan emas yang mahal, maka mangkuk ini terlihat lebih indah dan memiliki harga yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya.
